BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Gullain Barre Sindrome
adalah gangguan yang jarang mengenai tubuh, dimana sistem kekebalan tubuh
menyerang bagian saraf. Penyakit ini biasanya terjadi satu atau dua minggu
setelah infeksi virus ringan seperti sakit tenggorokan, bronkitis, atau flu,
atau setelah vaksinasi atau prosedur bedah. Tercatat kejadian ini hanya
mempengaruhi 1 atau 2 orang per 100.000.
Penyebab pasti penyakit
ini belum diketahui, namun umumnya dicetuskan oleh infeksi saluran pernafasan
atau pencernaan. Semua kelompok usia dapat terkena penyakit ini, namun paling
sering terjadi pada dewasa muda dan usia lanjut. Pada tipe yang paling berat,
sindroma Guillain-Barre menjadi suatu kondisi kedaruratan medis yang
membutuhkan perawatan segera.
Insidensi syndrome
Guillain-Barre bervariasi antara 0,6 sampai 1,9 kasus per100.000 orang
pertahun. Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74
tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah
dilaporkan adalah 3 bulan dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita
sama jumlahnya. Dari pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah
kulit putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang
tidak spesifik. Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak.
Penelitian menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I
samapai dekade III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki
dan wanita hampir sama.
Guillain-Barre Sindrome
(GBS) merupakan penyebab kelumpuhan yang cukup sering dijumpai pada usia dewasa
muda. GBS ini seringkali mencemaskan penderita dan keluarganya karena terjadi
pada usia produktif, apalagi pada beberapa keadaan dapat menimbulkan kematian,
meskipun pada umumnya mempunyai prognosa yang baik.
Beberapa varian dari
Guillan-Barre Sindrome dapat diklasifikasikan, yaitu Acute inflammatory
demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP), Subacute inflammatory
demyelinating polyradiculoneuropathy, Acute motor axonal neuropathy (AMAN),
Acute motor sensory axonal neuropathy (AMSAN), Fisher’s syndrome, Acute
pandysautonomia.
Penyakit ini terdapat di
seluruh dunia pada setiap musim dan merupakan penyakit autoimun yang
menyebabkan demielinisasi pada akar saraf tepi. Sampai saat ini penyebab pasti
penyakit ini masih dalam perdebatan. Mikroorganisme penyebab belum pernah
ditemukan pada penderita penyakit ini dan pada pemeriksaan patologis tidak
ditemukan tanda-tanda radang. Sindrom ini dapat pula didahului oleh vaksinasi,
infeksi bakteri, gangguan endokrin, tindakan operasi, anestesi dan sebagainya.
Namun teori yang dianut sekarang ialah suatu kelainan imunobiologik.
Periode laten antara
infeksi dan gejala polineuritis memberi dugaan bahwa kemungkinan kelainan yang
terdapat disebabkan oleh suatu respons terhadap reaksi alergi saraf perifer.
Pengobatan secara simtomatis dan perawatan yang baik dapat memperbaiki
prognosisnya.
Berangkat dari
penjelasan menarik di atas penulis bermaksud membahas lebih lanjut penyakit GBS
(Gullain Bare Syndrome) dalam makalah ini untuk menemukan asuhan keperawatan
yang tepat dilakukan oleh perawat di arena kerja, dengan mengangkat judul
“Asuhan Keperawatan Pada Pasien Gullain Bare Syndrome”.
1.2 Tujuan
Untuk mengetahui konsep teori dan penanganan pada pasien Gullain Bare
Syndrome.
BAB II
TINJAUAN
MEDIS
2.1 Pengertian
Guillain Barre Syndrome (GBS) atau
yang dikenaldengan Acute Inflammatory Idiopathic Polyneuropathy (AIIP) atau
yang bisajugadisebutsebagai Acute Inflammatory Demyelinating
Polyneuropathy (AIDP) adalah suatu penyakit pada susunan saraf yang
terjadi secara akut dan menyeluruh, terutama mengenairadiks dan saraf tepi,
kadang-kadang mengenai saraf otak yang didahului oleh infeksi. Penyakit ini merupakan
penyakit dimana system imunitas tubuh menyerang sel saraf.
Parry mengatakan bahwa,
SGB adalah suatu polineuropati yang bersifat ascending dan akut yang sering
terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi akut. Menurut Bosch, SGB
merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses
autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis.
Ada juga ahli yang
mengatakan Sindroma Guillain Barre (SGB) merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid
yang terjadi secara akutberhubungandenganproses autoimun dimana targetnya adalahsaraf perifer,
radiks, dan nervus
kranialis. ( Bosch, 1998 ). SGB mempunyai banyak sinonim, antara lain :
·
polineuritis akut toksik
·
polineuritis febril
·
poliradikulopati,dan
·
acute ascending paralysis.
Sindrom Guillan Bare juga merupakan sindrom klinik
yang menyebabkan tidak diketahui yang mneyangkut saraf perifer dan kranial.
Paling banyak pasien-pasien dengan sindroma ini ditimbulkan oleh adanya infeksi
(pernafasan atau gastrointestinal) 1 sampai 4 minggu sebelum terjadi serangan
penurunan neurologik. Pada beberapa keadaan, dapat terjadi setelah vaksinasi atau
pembedahan. Ini juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus primer, reaksi imun,
dan beberapa proses lain, atau sebuah kombinasi proses. Salah satu hipotesis
menyatakan bahwa infeksi virus menyebabkan reaksi autoimun yang menyerang
mielyn saraf perifer.
Sindrom Guillan Bare adalah penyakit sistem saraf
perifer yang ditandai dengan awitan mendadak paralisis atau paresis otot.
Sindrom Guillan Bare terjadi akibat serangan autoimun pada meilin yang
membungkus saraf perifer. Dengan rusaknya mielin, akson dapat rusak. Gejala
Sindrom Guillan Bare menghilang saat serangan autoimun berhenti dan akson
mengalami regenerasi. Apabila kerusakan badan sel terjadi selama serangan,
beberapa derajat disabilitas dapat tetap terjadi. Walaupun penyebab Sindrom
Guillan Bare tidak diketahui, penyakit ini biasanya terjadi 1 – 4 minggu
setelah infeksi virus atau imunisasi (Buku Saku Patofisilogi, 2000).
Sumber lain juga mengatakan bahwa Guillain Bare’ Syndrom ( SGB/GBS) adalah syndrom klinis yang ditunjukkan oleh awitan akut
dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan kranial. Proses penyakit
mencakup demielinasi dan degenasi selaput myelin dari saraf perifer dan kranial
yang Etiologinya tidak diketahui ( Hudak & Gallo: 287).
Guillain Bare’
Syndrom adalah Gangguan degeneratif terkomplikasi yang sifatnya dapat
akut atau kronis. Etiologi belum jelas, meskipun gangguan ini mempunyai kaitan
dengan mekanisme autoimun sel dan humoral beberapa hari sampai 3 minggu setelah
infeksi saluaran pernapasan atas ringan (Lynda Juall C: 298).
Guillain Bare’
Syndrom adalah ganguan kelemahan neuro-muskular akut yang memburuk secara
progresif yang dapat mengarah pada kelumpuhan total, tatapi biasanya paralisis
sementara ( Doenges:369).
2.2 Anatomi Fisiologi
a
Organisasi Struktural Sistem Saraf
1
Sistem saraf pusat (SSP). Terdiri dari otak dan medulla spinalis
yang dilindungi tulang kranium dan kanal vertebral.
2
Sistem saraf perifer meliputi seluruh jaringan saraf lain dalam
tubuh. Sistem ini terdiri dari saraf cranial dan saraf spinal yang menghubungkan
otak dan medulla spinalis dengan reseptor dan efektor. Secara fungsional system
saraf perifer terbagi menjadi sistem aferen dan sistem eferen.
a.
Saraf aferen (sensorik) mentransmisi informasi dari
reseptor sensorik ke SSP
b.
Saraf eferen (motorik) mentransmisi informasi dari SSP ke otot dan
kelenjar. Sistem eferen dari sistem saraf perifer memiliki dua sub divisi :
ü Divisi somatic
(volunter) berkaitan dengan perubahan lingkungan eksternal dan pembentukan
respons motorik volunter pada otot rangka.
ü Divisi otonom
(involunter) mengendalikan seluruh respon involunter pada otot polos, otot
jantung dan kelenjar dengan cara mentransmisi impuls saraf melalui dua jalur
ü Saraf simpatis berasal
dari area toraks dan lumbal pada medulla spinalis
ü Saraf parasimpatis berasal
dari area otak dan sacral pada medulla spinalis..
b
Sel-Sel Pada Sistem Saraf
Neuron adalah unit fungsional sistem
saraf yang terdiri dari badan sel dan perpanjangan sitoplasma.
1.
Badan sel atau perikarion, suatu neuron mengendalikan metabolisme keseluruhan neuron.
Bagian ini tersusun dari komponen berikut :
2.
Neurofibril yaitu neurofilamen dan neurotubulus yang dapat dilihat
melalui mikroskop cahaya jika diberi pewarnaan dengan perak.
3.
Dendrit adalah perpanjangan sitoplasma yang biasanya berganda dan
pendek serta berfungsi untuk menghantar impuls ke sel tubuh.
4.
Akson adalah suatu prosesus tunggal, yang lebih tipis dan lebih
panjang dari dendrite. Bagian ini menghantar impuls menjauhi badan sel ke
neuron lain, ke sel lain (sel otot atau kelenjar) atau ke badan sel neuron yang
menjadi asal akson.
5.
Sel Schwann
Sel ini mirip lembaran
yang tumbuh disekitar sebagian akson(serat) untuk membentuk selubung myelin.
6.
Selubung myelin
Selubung myelin juga
disebut neurilema atau selubung Schwann. Selubung myelin merupakan sruktur
berbentuk spiral berisi myelin berlemak yang membantu mempercepat perjalanan
dan mencegah impuls pudar atau bocor. Selubung myelin sebagai isolator listrik,
mencegah arus pendek antara akson, dan mempasilitasi konduksi. Nodus ranvier
adalah satu-satunya titik dimana akson tidak tertutup myelin dan ion-ion dapat
berpindah diantaranya dan cairan ekstraseluler. Depolarisasi membrane aksonal
pada nodus ranvier memperkuat potensial aksi yang dihantarkan sepanjang akson dan
ini adalah dasar konduksi saltatori (meloncat).
Klasifikasi Neuron
1.
Fungsi.
Neuron diklasifikasi secara fungsional
berdasarkan arah transmisi impulsnya.
a.
Neuron sensorik (aferen) menghantarkan impuls listrik dari
reseptor pada kulit, organ indera atau suatu organ internal ke SSP.
b.
Neuron motorik menyampaikan impuls dari SSP ke efektor.
c.
Interneuron (neuron yang berhubungan) ditemukan seluruhnya dalam
SSP. Neuron ini menghubungkan neuron sensorik dan motorik atau menyampaikan
informasi ke interneuron lain.
2. Struktur.
Neuron diklasifikasi secara structural
berdasarkan jumlah prosesusnya.
a.
Neuron unipolar memiliki satu akson dan dua denderit atau lebih.
Sebagian besar neuron motorik, yang ditemukan dalam otak dan medulla spinalis,
masuk dalam golongan ini.
b.
Neuron bipolar memiliki satu akson dan satu dendrite. Neuron ini
ditemukan pada organ indera, seperti amta, telinga dan hidung.
c.
Neuron unipolar kelihatannya memiliki sebuah prosesus tunggal,
tetapi neuron ini sebenarnya bipolar.
2.3
Etiologi
Dahulu,
sindrom ini diduga disebabkan oleh infeksi virus. Tetapi akhir-akhir ini
terungkap ternyata virus bukan sebagai penyebab. Teori yang dianut sekarang
ialah suatu kelainan immune biologik, baik secara primary immune response
maupun immune mediated process.
Dua
pertiga penderita berhubungan dengan penyakit infeksi atau kejadian akut.
Penyebab terjadinya inflamasi dan destruksi pada GBS sampai saat ini belum
diketahui. Ada yang menyebutkan kerusakan tersebut disebabkan oleh penyakit
autoimun. Pada sebagian besar kasus, GBS didahului oleh infeksi yang disebabkan
oleh virus, yaitu Epstein-Barr virus, coxsackievirus, influenzavirus,
echovirus, cytomegalovirus, hepatitisvirus, dan HIV. Selain
virus, penyakit ini juga didahului oleh infeksi yang disebabkan oleh bakteri
seperti Campylobacter Jejuni pada enteritis, Mycoplasma pneumoniae, Spirochaeta
, Salmonella, Legionella dan , Mycobacterium Tuberculosa. Vaksinasi seperti
BCG, tetanus, varicella, dan hepatitis B ; penyakit sistemik seperti kanker,
lymphoma, penyakit kolagen dan sarcoidosis ; kehamilan terutama pada trimester
ketiga ; pembedahan dan anestesi epidural. Infeksi virus ini biasanya terjadi 2
– 4 minggu sebelum timbul GBS .
2.4
Patofisiologi
Kelemahan
dan paralisis yang terjadi pada GBS disebabkan karena hilangnya myelin,
material yang membungkus saraf. Hilangnya myelin ini disebut demyelinisasi.
Demyelinisasi menyebabkan penghantaran impuls oleh saraf tersebut menjadi
lambat atau berhenti sama sekali. GBS menyebabkan inflamasi dan destruksi dari myelin
dan menyerang beberapa saraf. Oleh karena itu GBS disebut juga Acute
Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP).
Tidak ada yang
mengetahui dengan pasti bagaimana GBS terjadi dan dapat menyerang sejumlah
orang. Yang diketahui ilmuwan sampai saat ini adalah bahwa sistem imun
menyerang tubuhnya sendiri, dan menyebabkan suatu penyakit yang disebut sebagai
penyakit autoimun.
Infeksi
, baik yang disebabkan oleh bakteri maupun virus, dan antigen lain memasuki sel
Schwann dari saraf dan kemudian mereplikasi diri. Antigen tersebut mengaktivasi
sel limfosit T. Sel limfosit T ini mengaktivasi proses pematangan limfosit B
dan memproduksi autoantibodi spesifik. Ada beberapa teori mengenai pembentukan
autoantibodi , yang pertama adalah virus dan bakteri mengubah susunan sel sel
saraf sehingga sistem imun tubuh mengenalinya sebagai benda asing.
Teori
yang kedua mengatakan bahwa infeksi tersebut menyebabkan kemampuan sistem imun
untuk mengenali dirinya sendiri berkurang. Autoantibodi ini yang kemudian menyebabkan
destruksi myelin, bahkan kadang kadang juga dapat terjadi destruksi pada axon.
Teori
lain mengatakan bahwa respon imun yang menyerang myelin disebabkan oleh karena
antigen yang ada memiliki sifat yang sama dengan myelin. Hal ini menyebabkan
terjadinya respon imun terhadap myelin yang di invasi oleh antigen tersebut.
Destruksi pada myelin
tersebut menyebabkan sel sel saraf tidak dapat mengirimkan signal secara
efisien, sehingga otot kehilangan kemampuannya untuk merespon perintah dari
otak dan otak menerima lebih sedikit impuls sensoris dari seluruh bagian tubuh
Umumnya sel-sel imunitas ini menyerang benda asing dan organisme pengganggu;
namun pada GBS, sistem imun mulai menghancurkan selubung myelin yang
mengelilingi akson saraf perifer, atau bahkan akson itu sendiri. Terdapat
sejumlah teori mengenai bagaimana sistem imun ini tiba-tiba menyerang saraf,
namun teori yang dikenal adalah suatu teori yang menyebutkan bahwa organisme
(misalnya infeksi virus ataupun bakteri) telah mengubah keadaan alamiah sel-sel
sistem saraf, sehingga sistem imun mengenalinya sebagai sel-sel asing. Organisme
tersebut kemudian menyebabkan sel-sel imun, seperti halnya limfosit dan
makrofag, untuk menyerang myelin. Limfosit T yang tersensitisasi bersama dengan
limfosit B akan memproduksi antibodi melawan komponen-komponen selubung myelin
dan menyebabkan destruksi dari myelin.
Akson adalah suatu
perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan tipis; berfungsi sebagai
pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh suatu selubung
yang dikenal sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik yang terbungkus
plastik. Selubung myelin bersifat insulator dan
melindungi sel-sel saraf. Selubung ini akan meningkatkan baik kecepatan maupun
jarak sinyal saraf yang ditransmisikan. Sebagai contoh,
sinyal dari otak ke otot dapat ditransmisikan pada kecepatan lebih dari 50
km/jam.
Myelin tidak membungkus
akson secara utuh, namun terdapat suatu jarak diantaranya, yang dikenal sebagai
Nodus Ranvier; dimana daerah ini merupakan daerah yang rentan diserang.
Transmisi sinyal saraf juga akan diperlambat pada daerah ini, sehingga semakin
banyak terdapat nodus ini, transmisi sinyal akan semakin lambat.
Pada GBS, terbentuk
antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi terhadap adanya antigen atau
partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri ataupun virus. Antibodi yang
bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin serta merusaknya, dengan
bantuan sel-sel leukosit, sehingga terjadi inflamasi pada saraf. Sel-sel
inflamasi ini akan mengeluarkan sekret kimiawi yang akan mempengaruhi sel
Schwan, yang seharusnya membentuk materi lemak penghasil myelin. Dengan
merusaknya, produksi myelin akan berkurang, sementara pada waktu bersamaan,
myelin yang ada telah dirusak oleh antibodi tubuh. Seiring
dengan serangan yang berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara
bertahap. Saraf motorik, sensorik, dan otonom akan diserang; transmisi sinyal
melambat, terblok, atau terganggu; sehingga mempengaruhi tubuh penderita. Hal
ini akan menyebabkan kelemahan otot, kesemutan, kebas, serta kesulitan
melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk berjalan. Untungnya, fase
ini bersifat sementara, sehingga apabila sistem imun telah kembali normal,
serangan itu akan berhenti dan pasien akan kembali pulih.
Seluruh saraf pada tubuh
manusia, dengan pengecualian pada otak dan medulla spinalis, merupakan bagian
dari sistem saraf perifer, yakni terdiri dari saraf kranialis dan saraf spinal.
Saraf-saraf perifer mentransmisikan sinyal dari otak dan medulla spinalis,
menuju dan dari otot, organ, serta kulit. Tergantung fungsinya, saraf dapat
diklasifikasikan sebagai saraf perifer motorik, sensorik, dan otonom
(involunter).
Pada GBS, terjadi
malfungsi pada sistem imunitas sehingga muncul kerusakan sementara pada saraf
perifer, dan timbullah gangguan sensorik, kelemahan yang bersifat progresif,
ataupun paralisis akut. Karena itulah GBS dikenal sebagai neuropati perifer.
GBS dapat dibedakan
berbagai jenis tergantung dari kerusakan yang terjadi. Bila selubung myelin
yang menyelubungi akson rusak atau hancur , transmisi sinyal saraf yang
melaluinya akan terganggu atau melambat, sehingga timbul sensasi abnormal
ataupun kelemahan. Ini adalah tipe demyelinasi; dan prosesnya sendiri dinamai
demyelinasi primer.
Akson merupakan bagian
dari sel saraf 1, yang terentang menuju sel saraf 2. Selubung myelin berbentuk
bungkus, yang melapisi sekitar akson dalam beberapa lapis.
Pada tipe aksonal, akson
saraf itu sendiri akan rusak dalam proses demyelinasi sekunder; hal ini terjadi
pada pasien dengan fase inflamasi yang berat. Apabila akson ini putus, sinyal
saraf akan diblok, dan tidak dapat ditransmisikan lebih lanjut, sehingga timbul
kelemahan dan paralisis pada area tubuh yang dikontrol oleh saraf tersebut.
Tipe ini terjadi paling sering setelah gejala diare, dan memiliki prognosis
yang kurang baik, karena regenerasi akson membutuhkan waktu yang panjang
dibandingkan selubung myelin, yang sembuh lebih cepat.
Tipe campuran merusak
baik akson dan myelin. Paralisis jangka panjang pada penderita diduga akibat
kerusakan permanen baik pada akson serta selubung saraf. Saraf-saraf perifer
dan saraf spinal merupakan lokasi utama demyelinasi, namun, saraf-saraf
kranialis dapat juga ikut terlibat.
2.5 Manifestasi Klinis
1.
Kelumpuhan
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot
ekstremitas tipe lower motor neurone. Pada sebagian besar penderita kelumpuhan
dimulai dari kedua ekstremitas bawah kemudian menyebar secara asenderen ke
badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat anggota
gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis.
Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh
hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian
proksimal lebih berat dari bagian distal, tapi dapat juga sama beratnya, atau
bagian distal lebih berat dari bagian proksimal (2,4).
2.
Gangguan sensibilitas
Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal
ekstremitas, muka juga bisa dikenai dengan distribusi sirkumoral . Defisit
sensoris objektif biasanya minimal dan sering dengan distribusi seperti pola
kaus kaki dan sarung tangan. Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenal
dari pada sensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri otot sering ditemui seperti
rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik.
3.
Saraf Kranialis
Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII.
Kelumpuhan otot-otot muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera
menjadi bilateral, sehingga bisa ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf
kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat
terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan
berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang berat menyebabkan kegagalan
pernafasan karena paralisis n. laringeus.
4.
Gangguan fungsi otonom
Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita SGB9
. Gangguan tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi,
muka jadi merah (facial flushing), hipertensi atau hipotensi yang berfluktuasi,
hilangnya keringat atau episodic profuse diaphoresis. Retensi urin atau
inkontinensia urin jarang dijumpai . Gangguan otonom ini jarang yang menetap
lebih dari satu atau dua minggu.
5.
Kegagalan pernafasan
Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang
dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan
ini disebabkan oleh paralisis diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan,
yang dijumpai pada 10-33 persen penderita.
6.
Papiledema
Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum
diketahui dengan pasti. Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan
otot yang menyebabkan penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi cairan
otak berkurang
1.6 Pemeriksaan Diagnostik
a. Spinal tap (tusuk
lumbalis)/(lumbar puncture)
Prosedur ini melibatkan
menarik sejumlah kecil cairan dari kanal tulang belakang di daerah (lumbar.
Cairan cerebrospinal kemudian diuji untuk jenis tertentu perubahan yang
biasanya terjadi pada orang yang memiliki sindrom
Guillain-Barre. Yang paling khas adalah adanya disosiasi
sitoalbuminik, yakni meningkatnya jumlah protein (100-1000 mg/dL) tanpa
disertai adanya pleositosis (peningkatan hitung sel). Pada kebanyakan kasus, di
hari pertama jumlah total protein CSS normal; setelah beberapa hari, jumlah protein
mulai naik, bahkan lebih kanjut di saat gejala klinis mulai stabil, jumlah
protein CSS tetap naik dan menjadi sangat tinggi. Jika
memiliki GBS, tes ini dapatmenunjukkan peningkatan jumlah protein
dalam cairan tulang belakangtanpa tanda infeksi lain.
b.
Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG)
Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari GBS
terjadi akibat demyelinasi saraf, antara lain prolongasi masa laten motorik
distal (menandai blok konduksi distal) dan prolongasi atau absennya respon
gelombang F (tanda keterlibatan bagian proksimal saraf), blok
hantar saraf motorik, serta berkurangnya KHS. Pada 90% kasus
GBS yang telah terdiagnosis, KHS kurang dari 60% normal.
EMG menunjukkan
berkurangnya rekruitmen motor unit Dapat pula dijumpai degenerasi aksonal
dengan potensial fibrilasi 2-4 minggu setelah onset gejala, sehingga ampilitudo
CMAP dan SNAP kurang dari normal. Derajat hilangnya aksonal ini telah terbukti
berhubungan dengan tingkat mortalitas yang tinggi serta disabilitas jangka
panjang pada pasien GBS, akibat fase penyembuhan yang lambat dan tidak
sempurna. Sekitar 10% penderita menunjukkan penyembuhan yang tidak sempurna,
dengan periode penyembuhan yang lebih panjang (lebih dari 3 minggu) serta
berkurangnya KHS dan denervasi EMG.
c.
Pemeriksaan darah
Pada darah tepi,
didapati leukositosis polimorfonuklear sedang dengan pergeseran ke bentuk yang
imatur, limfosit cenderung rendah selama fase awal dan fase aktif penyakit.
Pada fase lanjut, dapat terjadi limfositosis; eosinofilia jarang ditemui. Laju
endap darah dapat meningkat sedikit atau normal, sementara anemia bukanlah
salah satu gejala.
Dapat dijumpai respon
hipersensitivitas antibodi tipe lambat, dengan peningkatan immunoglobulin IgG,
IgA, dan IgM, akibat demyelinasi saraf pada kultur jaringan.Abnormalitas fungsi
hati terdapat pada kurang dari 10% kasus, menunjukkan adanya hepatitis viral
yang akut atau sedang berlangsung; umumnya jarang karena virus hepatitis itu
sendiri, namun akibat infeksi CMV ataupun EBV.
d.
Elektrokardiografi (EKG)
Menunjukkan adanya
perubahan gelombang T serta sinus takikardia. Gelombang
T akan mendatar atau invertedpada lead lateral.
Peningkatan voltase QRS kadang dijumpai, namun tidak sering.
e.
Tes fungsi respirasi (pengukuran kapasitas vital paru)
Menunjukkan
adanya insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan (impending).
f.
Pemeriksaan patologi anatomi
Umumnya didapati pola
dan bentuk yang relatif konsisten; yakni adanya infiltrat limfositik
mononuklear perivaskuler serta demyelinasi multifokal. Pada fase lanjut,
infiltrasi sel-sel radang dan demyelinasi ini akan muncul bersama dengan
demyelinasi segmental dan degenerasi wallerian dalam berbagai derajat Saraf
perifer dapat terkena pada semua tingkat, mulai dari akar hingga ujung saraf
motorik intramuskuler, meskipun lesi yang terberat bila terjadi pada ventral
root, saraf spinal proksimal, dan saraf kranial. Infiltrat
sel-sel radang (limfosit dan sel mononuclear lainnya) juga didapati pada
pembuluh limfe, hati, limpa, jantung, dan organ lainnya.
1.7
Penatalaksanaan
Guillain Barre Syndrome
dapat dikatakan tidak adadrug of choice. Yang diperlukan adalah
kewaspadaan terhadap kemungkinan memburuknya situasi sebagai akibat perjalanan
klinik yang memberat sehingga mengancam otot-otot pernapasan. Apa bila terjadi
keadaan demikian, maka penderita segera di rawat di ruang intensif
a.
Pengobatan imunosupresan:
1
Imunoglobulin IV
Pengobatan dengan gamma
globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek
samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3
hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai
sembuh.
2
Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:
a.
6 merkaptopurin (6-MP)
b.
Azathioprine
c.
cyclophosphamid
Efek samping dari
obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala.
b. Plasmaferesis
untuk beberapa penderita dapat memberi manfaat yang besar,terutama
untuk kasus yang akut. Di negara-negera barat, plasmaferesis mulai sering
dilakukan namun demikian belum diperoleh kesimpulan yang pasti. Dengan cara ini
plasma sejumlah 200-250ml/kgbb dalam 4-6x pemberian selang waktu sehari diganti
dengan cairan yang berisi kombinasi garam dan 5% albumin. Plasmaparesis atau
plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan factor autoantibodi yang beredar.
c. Perawatan umum dan
fisioterapi
Perawatan yang baik
sangat penting dan terutama di tujukan pada perawatan sulit, kandung kemih.
Saluran pencernaan, mulut,faring dan trakea.infeksi paru dan saluaran kencing
harus segera di obati.
Respirasi di awasi
secara ketat, terhadap perubahan kapasitas dan gas darah yang menunjukan
permulaan kegagalan pernapasan. Setiap ada tanda kegagalan pernapasan maka
penderita harus segera di bantu dengan pernapasan buatan. Jika pernapasan
buatan di perlukan untuk waktu yang lama maka trakeotomi harus di kerjakan
fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps paru.
Gerakan pasti pada kaki lumpuh mencegah deep voin trombosis spientmungkin di
perlukan untuk mempertahankan posisi anggota gerak yang lumpuh, dan kekakuan
sendi di cegah dengan gerakan pasif. Segera setelah penyembuhan mulai fase
rekonfaselen maka fisioterapi aktif di mulai untuk melati dan meningkatkan
kekuatan otot.
d. Roboransia saraf dapat
diberikan terutama secara parenteral. apabila terjadi kesulitan menguyah atau
menelan,sebagai akibat kelumpuhan otot-otot wajah dan menelanmaka perlu
dipasang pipa hidung-lambung (nasogastric tube) untuk dapat memenuhi kebutuhan
makanan dan cairan.
e. Manfaat
kortikosteroid untuk sindrom guillain-barre masih
kontroversial.namun demikian,apabila keadaan menjadi gawat akibat terjadinya
paralisis otot-otot pernafasan maka kortikosteroid dosis tinggi dapat
diberikan. Pemberian kortikosteroid ini harus diiringi dengan kewaspadaan terhadap
efek samping yang mungkin terjadi.
2.8
Komplikasi
Komplikasi GBS yang
paling berat adalah kematian, akibat kelemahan atau paralisis pada otot-otot
pernafasan. Tiga puluh persen% penderita ini membutuhkan mesin bantu pernafasan
untuk bertahan hidup, sementara 5% penderita akan meninggal, meskipun dirawat
di ruang perawatan intensif. Sejumlah 80% penderita sembuh sempurna atau hanya
menderita gejala sisa ringan, berupa kelemahan ataupun sensasi abnormal,
seperti halnya kesemutan atau baal. Lima sampai sepuluh persen mengalami
masalah sensasi dan koordinasi yang lebih serius dan permanen, sehingga
menyebabkan disabilitas berat. Dengan penatalaksanaan respirasi yang lebih
modern, komplikasi yang lebih sering terjadi lebih diakibatkan oleh paralisis
jangka panjang, antara lain sebagai berikut:
a.
Gagal nafas, dengan ventilasi mekanik
b.
Aspirasi
c.
Paralisis otot persisten
d.
Hipo ataupun hipertensi
e.
Tromboemboli, pneumonia, ulkus
f.
Aritmia jantung
g.
Retensi urin
h.
Masalah psikiatrik, seperti depresi dan ansietas
i.
Nefropati, pada penderita anak
2.9
Penanganan
Penatalaksaan yang dilakukan pada
pasien dengan kasus guillan barre syndrom, yaitu:
1.
Perawatan pernapasan seperti antispasi
kegagalan pernapasan, persiapan ventilator dan pemeriksaan AGD
2.
Monitoring hemodinamik dan
kardiovaskuler
3.
Management bowel dan bladder
4.
Support nutrisi
5.
Perawatan immobilisasi
6.
Plasmapheresis seperti penggantian
plasma untuk meningkatkan kemampuan motorik
7.
Pengobatan dengan pemberian
kortikosteroid, immunosuppressive dan antikoagulan
8.
Pembedahan tracheostomy dan indikasi
kegagalan pernapasan
2.10
Pemeriksaan fisik
B1 (Breathing)
Inspeksi didapatkan klien batuk,
peningkatan produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas, dan
peningkatan frekuensi pernapasan karena infeksi saluran pernapasan dan paling sering
didapatkan pada klien GBS adalah penurunan frekuensi pernapasan karena
melemahnya fungsi otot-otot pernapasan. Palpasi biasanya taktil premitus
seimbang kanan dan kiri. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada
klien dengan GBS berhubungan akumulasi sekret dari infeksi saluran napas.
B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem
kardiovaskuler pada klien GBS didapatkan bradikardi yang berhubungan dengan
penurunan perfusi perifer.Tekanan darah didapatkan
ortostatik Hipotensi atau TD meningkat ( hipertensi transien )
berhubungan dengan penurunan reaksi saraf simpatis dan parasimpatis.
B3 (Brain)
Merupakan pengkajian focus meliputi
:
a.
Tingkat kesadaran
Pada klien GBS biasanya kesadaran
compos mentis ( CM ). Apabila klien mengalami penurunan tingkat kesadaran maka
penilaian GCS sangat penting untuk menilai dan sebagai bahan evaluasi untuk
monitoring pemberian asuhan keperawatan.
b.
Fungsi
serebri
Status mental : observasi penampilan
klien dan tingkah lakunya, nilai gaya bicara klien dan observasi ekspresi
wajah, dan aktivitas motorik yang pada klien GBS tahap lanjut disertai
penurunan tingkat kesadaran biasanya status mental klien mengalam perubahan.
c.
Pemeriksaan
saraf kranial
Saraf I. Biasanya pada klien GBS tidak ada kelainan dan
fungsi penciuman
Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
Saraf III, IV, dan VI. Penurunan kemampuan membuka dan
menutup kelopak mata, paralis ocular.
Saraf V. Pada klien GBS didapatkan paralis pada otot wajah
sehingga mengganggu proses mengunyah.
Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah
asimetris karena adanya paralisis unilateral.
Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli
persepsi.
Saraf IX dan X. paralisi otot orofaring, kesukaran
berbicara, mengunyah, dan menelan. Kamampuan menelan kurang baik sehngga
mengganggu pemenuhan nutrisi via oral.
Saraf XI. Tidak ada atrof otot sternokleinomastoideus dan
trapezius.kemampuan mobliisasi leher baik.
Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi
dan tidak ada fasikulasi. Indra pengecapan normal.
d.
System
motorik
Kekuatan otot menurun, control
keseimbangan dan koordinasi pada klien GBS tahap lanjut mengalami perubahan.
Klien mengalami kelemahan motorik secara umum sehingga menggaganggu moblitas
fisik .
e.
Pemeriksaan
reflexs
Pemeriksaan reflex dalam, pengetukan
pada tendon, ligamentum, periosteum derajat reflexs dalam respons normal.
f.
Gerakan
involunter
Tidak ditemukan adanya tremor,
kejang, Tic,dan distonia.
g.
System
sensorik
Parestesia ( kesemutan kebas ) dan
kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang ke ekstrimtas atas, batang tubuh,
dan otot wajah. Klien mengalami penurunan kemampuan penilaian sensorik raba,
nyeri, dan suhu.
B4 (Bladder)
Terdapat penurunan volume
haluaran urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan
curah jantung ke ginjal.
B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan
dengan peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan nutris pada klien GBS
menurun karena anoreksia dan kelemahan otot-otot pengunyah serta gangguan
proses menelan menyebabkan pemenuhan via oral kurang terpenuhi.
B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan
penurunan tingkat kesadaran menururnkan mobilitas pasien secara umum. Dalam
pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien lebh banyak dibantu orang lain.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
GBS merupakan proses
yang diperantarai oleh imunitas, suatu kelainan yang jarang terjadi; dimana
sistem imunitas tubuh menyerang sarafnya sendiri. Terjadi kelemahan otot,
kehilangan reflex, dan kebas pada lengan, tungkai, wajah, dan bagian tubuh
lain. Kasus ini terjadi secara akut dan berhubungan dengan proses autoimun.
Fokus utama asuhan keperawatan pada penyakit ini adalah mempertahankan
pernapasan, mencegah komplikasi, memberi dukungan emosional, mengedalikan
nyeri, dan memberikan iformasi prognosis penyakit.
3.2
Saran
Nutrisi, hygiene, dan
istirahat yang cukup dapat membantu meningkatkan system imun dari tubuh
penderita yang mengalami masalah pada bagian system imun.
Daftar Pustaka
Wibowo, Samekto & Gofir abdul. 2001. Farmakoterapi
Dalam Neurologi. Penerbit Salemba Medika; Jakarta.
Comer, Sheree. RN. MS. 2005 Critical Care Nursing Care
Plans.Delmar Learning Thomson Asian Edition;
Harsono. 1996. Buku Ajar Neurologis Klinis. Gadjah
Mada University Press; Jakarta
Widagdo, Wahyu S.kp. M.Kep. Sp.Kom, dkk. 2008. Askep Pada
Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan. Penerbit Buku Keperawatan dan
Kepribadian; Jakarta.
http://xa.yimg.com/kq/groups/23350775/2046214617/name/Guillaine+Barre+Sindrome.pdf
http://staff.unila.ac.id/gnugroho/files/2012/11/ANATOMI-FISIOLOGI-SISTEM-SARAF.pdf
Doenges, Marilynn dkk. 1999. Rencana Asuhan
Keperawatan. EGC: Jakarta.
http://fk.uwks.ac.id/archieve/jurnal/Vol%20Edisi%20Khusus%20Desember%202010/SINDROM%20GUILLAIN%20BARRE.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar